Senin, 16 Mei 2016

Perkembangan Moral, dan Keagamaan Anak-II



 Konsep Perkembangan Moral dan Kegamaan Anak
Pieget Dan Norman J.Bull berpendapat bahwa pendidikan moral akan berhasil , apabila pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan moral anak. Dengan kata lain kedua ahli ini mencita-citakan adanya strategi pendidikan moral yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan moral anak.
Pieget mendefinisikan perkembangan moral Sebagai berikut:
1.      Pre-moral yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan.
2.      Heteronomi, yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan dan harus menaati kekuasaan.
3.      Autonomi, yaitu anak telah mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi ketaatanya kepada peraturan.
Adapun Norman J.Bull (1969) berkesimpulan bahwa tahap perkembangan moral itu adalah:
1.      Anomi , yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan.
2.      Heteronomi, yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.
3.      Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.
4.      Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan.
Dalam perkembangan moral itu titik heteronomi dan autonomi lebih menggambarkan proses perkembangan daripada totalitas mental individu. Melalui pergaulannya anak mengembangkan pemahamannya mengenai tujuan dan sumber aturan. Sampai usia atau delapan tahun anak dikendalikan oleh seluruh aturan. Terhadap aturan yang berasal dari luar, anak belum memiliki pengertian dan motivasi untuk konsisten. Pada tahap autonomi anak menyadari akan aturan dan hubungannya dengan pelaksanaannya. Tahap berikutnya adalah pelaksanaan autonomi.
Perkembangan Penghayatan Keaagamaan
-        Tahapan Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Sejalan dengan perkembangannya kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual di samping emosional dan volisional (konatif), mengalami perkembangan. Menurut para ahli umumnya (Zakiyah Darajat, Starbuch, William James) yang dikutip oleh Nurihsan (2011), sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat dibagi dalam tiga tahapan itu ialah sebagai berikut :
1.      Masa kanak-kanak (sampai usia tujuh tahun) yang ditandai, antara lain oleh hal berikut ini :
a)      Sikap keagamaan reseptif meskipun banyak bertanya.
b)      Pandangan ketuhanan yang anthtopormoph (dipersonifisikan).
c)      Penghayatan secara rohaniah masih supercial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau partisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.
d)     Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya  yang masih bersifat egocentric (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya).
2.      Masa anak sekolah (7-8 sampai 11-12 tahun) yang ditandai antara lain, oleh hal berikut ini :
a)      Sikap keagamaan bersifat reseptif tetapi disertai pengertian.
b)      Pandangan dan paham ketuhanan diterangkan secara rasional  berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan keagungan-Nya.
c)      Pengahayatan secara rohaniah makin mendalam, malaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.
3.      Masa remaja (12-18 tahun) yang dapat dibagi kedalam kedua sub tahapan, ialah sebagai berikut ini :
a)      Masa remaja awal
b)      Masa remaja akhir
-        Proses Pertumbuhan Penghayatan Kegamaan
Ajaran agama menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan memiliki potensi beragama, maka keluarganyalah yang akan membentuk perkembangan agamanya itu. Oleh karena itu keluarga hendaklah menciptakan lingkungan psikologis yang mendukung karakter anak dalam menjalankan ajaran agamanya.

Tahapan Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
Pertama-tama moral berkembang melalui adopsi terhadap norma-norma sosial. Dalam pengertian ini anak mengambil norma yang dipakai oleh orang-orang dengan cara mencontoh. Oleh karena itu sebagai orang guru hendaknya memberi contoh pada muridnya untuk menanamkan norma yang sesuai. Perkembangan moral dapat juga melalui pemahaman terhadap norma. Pengalaman sosial ini didapat melalui interaksi dengan institusi sosial, sistem hukum yag berlaku dan hubungan interpersonal.
John Dewey mengemukakan perkembangan moral dalam tiga tahap ini, yakni :
1.      Tahap Pra-Moral: ini ditandai bahwa anak belum menyadari keterkaitannya pada aturan.
2.      Tahap Konvensioal; ini ditandai dengan berkembanganya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan.
3.      Tahap Otonom; ini ditandai dengan berkembangnya keterkaitan pada aturan yang didasari pada resiprositas (imbal balik yang sama). (Mohammad Asror, 2008:156).
Sedangkan tahap menurut Norman J.Bull terdapat empat tahap perkembangan moral , yakni :
1.      Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan.
2.      Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan.
3.      Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.
4.      Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan.
Sementara itu, Jean Piaget selain mengembangkan teori kognitif, juga memperkenalkan teori perkembangan moral. Piaget membagi perkembangan moral atas 3 tahap yaitu :
1.      Pre Moral ( 0 sampai 5 tahun). Pada tahap ini anak tidak/belum merasa wajib untuk menaati peraturan.
2.      Heteronomous Morality (+ 5 sampai dengan 10 tahun). Pada tahap perkembangan moral ini, anak memandang aturan-aturan sebagai otoritas yang dimiliki Tuhan, orang tua dan guru, yang tidak dapat dirubah, dan harus dipatuhi dengan sebaik-baiknya.
3.      Autonomus Morality atau Morallity of Cooperation ( Usia 10 tahun ke atas) moral tumbuh melalui kesadaran, bahwa orang dapat memilih pandangan yang berbeda terhadap tindakan moral. Pengalaman ini akan tumbuh menjadi dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah laku. Dalam perkembangan selanjutnya, anak berusaha mengatasi konflik dengan cara-cara yang paling menguntungkan, dan mulai menggunakan standar keadilan terhdap orang lain.
Menurut Piaget, pengalaman ini menyatakan anak bahwa norma bersifat fleksibel, merupakan kesepakatan sosial yang dapat disesuaikan dengan keinginan mayoritas. Lain halnya dengan Kohlberg. Lawrence Kohlberg, mengembangkan teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget. Menurut Kohlberg (Crain, 1992:Gunarsa; Miller; Papilia, Old dan Feldeman,1998) ada beberapa tahap perkembangan moral diantaranya pre-conventional morality, morality of conventional role conformity, dan morality of autonomy moral principle.
Tahap I: Pre-Conventional Morality/ Pra-Convensional ( anak usia 4 sampai 10 tahun).
1.      Orientasi kepatutan dan hukuman.
2.      Orientasi Relativis Instrumental/relativitac hedonism/resiprositas/minat pribadi.
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak.
Tahap II: Morality of Conventional Role Conformity/Konvensional (anak usia 4-10 tahun).
1.      Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas/kesepakatan antar pribadi/orientasi “anak manis” (sifat anak baik).
2.      Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial/hukum dan ketertiban (moralitas hukum dan aturan).
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa.
Tahap III: Morality of Autonomy Moral Principles/Pasca-Konvensional (minimal usia 13 tahun ke atas).
1.      Orientasi kontrak sosial legalitas/utilitarian (ukuran perbuatan baik hasil consensus).
2.      Prinsip etika universal/hati nurani universalitas (principled conscience).
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religios on Children ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan yaitu :
1.      The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkat ini dimulai pada anak yang berusia 3 – 6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini akan menghayati konsep ke Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi  kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.      The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini die ke Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul  melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak di dasarkan  atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdarkan hak itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan  yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
3.      The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini akan telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu :
a.    Konsep ke Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luas.
b.    Konsep ke Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c.     Konsep Ke Tuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor intern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Anak
Di dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata faktor lingkungan memegang peranan penting, terutama unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang. Nilai, moral dan sikap serta prilaku keagamaan adalah aspek yang berkembang pada diri individu melalui interaksi antara aktivitas internal dengan pengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seseorang anak belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang dipandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya. Selanjutnya, dalam interaksinya dengan lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral, sikap serta prilaku keagamaanya.
Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khusunya dari orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dalam diri sendiri. Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar tidak mampu mengembangkan superego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat. Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak – orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sisiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya (Salito,1992:92).
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlbergmenunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada anak-anak (Singgih G.1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi, faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam perkembangan moral, Kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang didasarinya. Moral sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
Timbulnya agama pada anak. Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religious. Adapula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.

Proses Pembelajaran untuk Membantu Perkembangan Nilai
Moral, sikap dan keagamaan subjek didik. Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi mereka gambaran-gambaran yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik, orang-orang terkenal dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri. Syamsu Yusuf (2007:133) menyatakan bahwa: ”Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai dari lingkungannya, terutama dari orang tuanya”.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral dan sikap individu itu mencakup aspek psikoligis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. 
Dari pernyataan di atas dapat dimengerti bahwa perkembangan moral anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya, utamanya keluarganya yang setiap hari berinteraksi dengan anak. Boleh jadi baik dan buruknya perkembangan moral anak tergantung pada baik dan buruknya moral keluarganya.
Agar perkembangan moral keagamaan anak dapat berkembang dengan baik sebaiknya keluarga utamanya ayah dan ibu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.      konsisten dalam mendidik
Ayah dan Ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang dan membolehkan tingkah laku tertentu pada anak. Ketidak kompakkan orangtua dalam mendidik anaknya berakibat kurang baik terhadap moral anak. Biasanya anak bingung membedakan mana yang baik dan mana yang buruk , mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, patuh pada aturan ayah atau ibu, dan lain sebagainya. Maka sebaiknya ayah dan ibu menyamakan persepsi dalam memberikan didikan pada anak-anaknya.
2.      Sikap orang tua dalam keluarga
Dalam  lingkungan keluarga, terjadi proses peniruan (imitasi). Anak merekam sikap ayah pada ibu begitu juga sebaliknya, sikap tetangga tetangga sekitarnya akan mudah ditiru oleh anak. Sikap otoriter orangtua akan membuahkan sikap yang sama pada anak. Sebaliknya, sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah dan konsisten juga akan membuahkan sikap yang sama pada anak.
3.      Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut
Orangtua berkewajiban menanamkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya kepada anak, baik berupa bimbingan-bimbingan ataupun  contoh implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan orangtua dalam menjalankan moral keagamaan merupakan cara yang paling baik dalam menanamkan nilai moral keagamaaan anak.
Dengan perkembangan moral keagamaan yang baikpada anak sudah tentu akan berpengaruh terhadap budi pekerti atau tingkah laku anak pada masa yang akan datang.



Sumber :
·         Desmita.2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosda
·         Miftahudin.2012.Makalah Perkembangan Jiwa Keagamaan. [Online] Tersedia: https://makalah-ku.blogspot.co.id/2012/08/makalah-perkembangan-jiwa-keagamaan.html
·         Suhada, idad.2012.Perkembangan Peserta Didik.Bandung:CV Insan Mandiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar