Konsep
Perkembangan Moral dan Kegamaan Anak
Pieget
Dan Norman J.Bull berpendapat bahwa pendidikan moral akan berhasil , apabila
pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan moral anak. Dengan
kata lain kedua ahli ini mencita-citakan adanya strategi pendidikan moral yang
disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan moral anak.
Pieget
mendefinisikan perkembangan moral Sebagai berikut:
1.
Pre-moral yaitu anak tidak merasa wajib
untuk menaati peraturan.
2.
Heteronomi, yaitu anak merasa bahwa yang
benar adalah patuh pada peraturan dan harus menaati kekuasaan.
3.
Autonomi, yaitu anak telah
mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi ketaatanya kepada peraturan.
Adapun
Norman J.Bull (1969) berkesimpulan bahwa tahap perkembangan moral itu adalah:
1.
Anomi , yaitu anak tidak merasa wajib
untuk menaati peraturan.
2.
Heteronomi, yaitu anak merasa bahwa yang
benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.
3.
Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang
benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.
4.
Autonomi yaitu anak telah
mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan.
Dalam
perkembangan moral itu titik heteronomi dan autonomi lebih menggambarkan proses
perkembangan daripada totalitas mental individu. Melalui pergaulannya anak mengembangkan
pemahamannya mengenai tujuan dan sumber aturan. Sampai usia atau delapan tahun
anak dikendalikan oleh seluruh aturan. Terhadap aturan yang berasal dari luar,
anak belum memiliki pengertian dan motivasi untuk konsisten. Pada tahap
autonomi anak menyadari akan aturan dan hubungannya dengan pelaksanaannya.
Tahap berikutnya adalah pelaksanaan autonomi.
Perkembangan
Penghayatan Keaagamaan
-
Tahapan Perkembangan Penghayatan
Keagamaan
Sejalan
dengan perkembangannya kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan,
yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual di samping emosional dan
volisional (konatif), mengalami perkembangan. Menurut para ahli umumnya
(Zakiyah Darajat, Starbuch, William James) yang dikutip oleh Nurihsan (2011),
sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu
dapat dibagi dalam tiga tahapan itu ialah sebagai berikut :
1.
Masa kanak-kanak (sampai usia tujuh
tahun) yang ditandai, antara lain oleh hal berikut ini :
a)
Sikap keagamaan reseptif meskipun banyak
bertanya.
b)
Pandangan ketuhanan yang anthtopormoph (dipersonifisikan).
c)
Penghayatan secara rohaniah masih
supercial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau partisipasi
dalam berbagai kegiatan ritual.
d)
Hal ketuhanan dipahamkan secara
ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan
kognitifnya yang masih bersifat egocentric (memandang segala sesuatu
dari sudut dirinya).
2.
Masa anak sekolah (7-8 sampai 11-12
tahun) yang ditandai antara lain, oleh hal berikut ini :
a)
Sikap keagamaan bersifat reseptif tetapi
disertai pengertian.
b)
Pandangan dan paham ketuhanan
diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang
bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan
keagungan-Nya.
c)
Pengahayatan secara rohaniah makin
mendalam, malaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.
3.
Masa remaja (12-18 tahun) yang dapat
dibagi kedalam kedua sub tahapan, ialah sebagai berikut ini :
a)
Masa remaja awal
b)
Masa remaja akhir
-
Proses Pertumbuhan Penghayatan Kegamaan
Ajaran
agama menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan memiliki potensi
beragama, maka keluarganyalah yang akan membentuk perkembangan agamanya itu.
Oleh karena itu keluarga hendaklah menciptakan lingkungan psikologis yang
mendukung karakter anak dalam menjalankan ajaran agamanya.
Tahapan
Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
Pertama-tama
moral berkembang melalui adopsi terhadap norma-norma sosial. Dalam pengertian
ini anak mengambil norma yang dipakai oleh orang-orang dengan cara mencontoh.
Oleh karena itu sebagai orang guru hendaknya memberi contoh pada muridnya untuk
menanamkan norma yang sesuai. Perkembangan moral dapat juga melalui pemahaman
terhadap norma. Pengalaman sosial ini didapat melalui interaksi dengan
institusi sosial, sistem hukum yag berlaku dan hubungan interpersonal.
John
Dewey mengemukakan perkembangan moral dalam tiga tahap ini, yakni :
1.
Tahap Pra-Moral: ini ditandai bahwa anak
belum menyadari keterkaitannya pada aturan.
2.
Tahap Konvensioal; ini ditandai dengan
berkembanganya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan.
3.
Tahap Otonom; ini ditandai dengan
berkembangnya keterkaitan pada aturan yang didasari pada resiprositas (imbal
balik yang sama). (Mohammad Asror, 2008:156).
Sedangkan
tahap menurut Norman J.Bull terdapat empat tahap perkembangan moral , yakni :
1.
Anomi yaitu anak tidak merasa wajib
untuk menaati peraturan.
2.
Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang
benar adalah patuh kepada peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan.
3.
Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang
benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.
4.
Autonomi yaitu anak telah
mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan.
Sementara
itu, Jean Piaget selain mengembangkan teori kognitif, juga memperkenalkan teori
perkembangan moral. Piaget membagi perkembangan moral atas 3 tahap yaitu :
1.
Pre Moral ( 0 sampai 5 tahun). Pada
tahap ini anak tidak/belum merasa wajib untuk menaati peraturan.
2.
Heteronomous Morality (+ 5 sampai dengan
10 tahun). Pada tahap perkembangan moral ini, anak memandang aturan-aturan
sebagai otoritas yang dimiliki Tuhan, orang tua dan guru, yang tidak dapat
dirubah, dan harus dipatuhi dengan sebaik-baiknya.
3.
Autonomus Morality atau Morallity of
Cooperation ( Usia 10 tahun ke atas) moral tumbuh melalui kesadaran, bahwa
orang dapat memilih pandangan yang berbeda terhadap tindakan moral. Pengalaman
ini akan tumbuh menjadi dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah laku. Dalam
perkembangan selanjutnya, anak berusaha mengatasi konflik dengan cara-cara yang
paling menguntungkan, dan mulai menggunakan standar keadilan terhdap orang
lain.
Menurut
Piaget, pengalaman ini menyatakan anak bahwa norma bersifat fleksibel,
merupakan kesepakatan sosial yang dapat disesuaikan dengan keinginan mayoritas.
Lain halnya dengan Kohlberg. Lawrence Kohlberg, mengembangkan teori perkembangan
kognitif dari Jean Piaget. Menurut Kohlberg (Crain, 1992:Gunarsa; Miller; Papilia,
Old dan Feldeman,1998) ada beberapa tahap perkembangan moral diantaranya pre-conventional
morality, morality of conventional role conformity, dan morality of autonomy
moral principle.
Tahap I:
Pre-Conventional Morality/ Pra-Convensional ( anak usia 4 sampai 10 tahun).
1.
Orientasi kepatutan dan hukuman.
2.
Orientasi Relativis
Instrumental/relativitac hedonism/resiprositas/minat pribadi.
Tingkat
pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak.
Tahap II: Morality of
Conventional Role Conformity/Konvensional (anak usia 4-10 tahun).
1.
Orientasi keserasian interpersonal dan
konformitas/kesepakatan antar pribadi/orientasi “anak manis” (sifat anak baik).
2.
Orientasi otoritas dan pemeliharaan
aturan sosial/hukum dan ketertiban (moralitas hukum dan aturan).
Tingkat
konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa.
Tahap III: Morality of
Autonomy Moral Principles/Pasca-Konvensional (minimal usia 13 tahun ke atas).
1.
Orientasi kontrak sosial
legalitas/utilitarian (ukuran perbuatan baik hasil consensus).
2.
Prinsip etika universal/hati nurani
universalitas (principled conscience).
Menurut
penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase
(tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religios on Children ia
mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan
yaitu :
1.
The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkat
ini dimulai pada anak yang berusia 3 – 6 tahun. Pada tingkatan ini konsep
mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat
perkembangan ini akan menghayati konsep ke Tuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan
fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep
fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.
The Realistic Stage (Tingkatan
Kenyataan)
Tingkat
ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia (masa usia)
adolesense. Pada masa ini die ke Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep
yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini
timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari
orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak di
dasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan
konsep Tuhan yang formalis. Berdarkan hak itu maka pada masa ini anak-anak
tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat
dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal)
keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
3.
The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada
tingkat ini akan telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan
dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini
terbagi atas tiga golongan, yaitu :
a.
Konsep ke Tuhanan yang konvensional dan
konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan
oleh pengaruh luas.
b.
Konsep ke Tuhanan yang lebih murni yang
dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c.
Konsep
Ke Tuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri
mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan
dipengaruhi oleh factor intern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern
berupa pengaruh luar yang dialaminya.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Anak
Di dalam
usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu
ternyata faktor lingkungan memegang peranan penting, terutama unsur lingkungan
berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang. Nilai,
moral dan sikap serta prilaku keagamaan adalah aspek yang berkembang pada diri
individu melalui interaksi antara aktivitas internal dengan pengaruh stimulus
eksternal. Pada awalnya seseorang anak belum memiliki nilai-nilai dan
pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang dipandang baik
atau tidak baik oleh kelompok sosialnya. Selanjutnya, dalam interaksinya dengan
lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek kehidupan yang berkaitan
dengan nilai, moral, sikap serta prilaku keagamaanya.
Menurut
psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk
melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang
datang dari luar (khusunya dari orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya
terpencar dalam diri sendiri. Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai
hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar
tidak mampu mengembangkan superego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa
menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat. Teori-teori lain yang
non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak – orang tua bukan
satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sisiolog beranggapan bahwa masyarakat
sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang
terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang
mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat
pelanggar-pelanggarnya (Salito,1992:92).
Teori
perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlbergmenunjukkan bahwa sikap
moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan
hal-hal yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan
moral terjadi dari aktivitas spontan pada anak-anak (Singgih
G.1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi sosial, tetapi
interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi, faktor si anak
dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam perkembangan
moral, Kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada
setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan bukan mengenai sikap moral yang
khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang didasarinya. Moral
sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh
perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat
penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin tinggi
pula tingkat moral seseorang.
Timbulnya
agama pada anak. Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk
yang religious. Adapula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan
telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari
melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.
Proses
Pembelajaran untuk Membantu Perkembangan Nilai
Moral,
sikap dan keagamaan subjek didik. Berdasarkan sejumlah hasil penelitian,
perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan
orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi mereka gambaran-gambaran yang
diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik, orang-orang terkenal
dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri. Syamsu Yusuf (2007:133)
menyatakan bahwa: ”Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh
lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai dari lingkungannya, terutama dari
orang tuanya”.
Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral dan sikap
individu itu mencakup aspek psikoligis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan,
baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Dari
pernyataan di atas dapat dimengerti bahwa perkembangan moral anak sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan sekitarnya, utamanya keluarganya yang setiap hari
berinteraksi dengan anak. Boleh jadi baik dan buruknya perkembangan moral anak
tergantung pada baik dan buruknya moral keluarganya.
Agar
perkembangan moral keagamaan anak dapat berkembang dengan baik sebaiknya
keluarga utamanya ayah dan ibu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.
konsisten dalam mendidik
Ayah dan
Ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang dan membolehkan
tingkah laku tertentu pada anak. Ketidak kompakkan orangtua dalam mendidik
anaknya berakibat kurang baik terhadap moral anak. Biasanya anak bingung
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk , mana yang boleh dan mana yang
tidak boleh, patuh pada aturan ayah atau ibu, dan lain sebagainya. Maka
sebaiknya ayah dan ibu menyamakan persepsi dalam memberikan didikan pada
anak-anaknya.
2.
Sikap orang tua dalam keluarga
Dalam lingkungan
keluarga, terjadi proses peniruan (imitasi). Anak merekam sikap ayah pada ibu
begitu juga sebaliknya, sikap tetangga tetangga sekitarnya akan mudah ditiru
oleh anak. Sikap otoriter orangtua akan membuahkan sikap yang sama pada anak.
Sebaliknya, sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah dan konsisten juga akan
membuahkan sikap yang sama pada anak.
3.
Penghayatan dan pengalaman agama yang
dianut
Orangtua
berkewajiban menanamkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya kepada anak, baik
berupa bimbingan-bimbingan ataupun contoh implementasinya dalam
kehidupan sehari-hari. Keteladanan orangtua dalam menjalankan moral keagamaan
merupakan cara yang paling baik dalam menanamkan nilai moral keagamaaan anak.
Dengan
perkembangan moral keagamaan yang baikpada anak sudah tentu akan berpengaruh
terhadap budi pekerti atau tingkah laku anak pada masa yang akan datang.
Sumber :
·
Desmita.2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosda
·
Muhammad Irfan Ilmy.2013.perkembangan moral dan keagamaan
anak. [Online] Tersedia: https://ilmyirfan.wordpress.com/2013/05/25/perkembangan-moral-dan-keagamaan-anak-tugas-perkembangan-peserta-didik
/
·
Miftahudin.2012.Makalah Perkembangan
Jiwa Keagamaan. [Online] Tersedia: https://makalah-ku.blogspot.co.id/2012/08/makalah-perkembangan-jiwa-keagamaan.html
·
Suhada, idad.2012.Perkembangan Peserta Didik.Bandung:CV Insan Mandiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar